Best Food
nice food
healty Food

Thursday, March 31, 2011

Manila

Pada 7 Juli 1995 pukul 15.45 pesawat Luzon Air yang ditumpangi oleh Bernardo Bagio mendarat mulus di lapangan udara internasional Benigno Aquino, Manila. Cuaca cerah, langit biru tak berawan, angin berhembus kencang dari Laut China Selatan dan udara lebih sejuk dibandingkan dengan Jakarta yang panas menyengat. Sebuah pelabuhan udara internasional tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan Cengkareng International Airport, tetapi di mana-mana tampak lebih bersih dan rapih, tidak ada kesan semrawut. Setelah selesai chek passport dan visa dia segera bergegas menuju hotel dengan taxi Blue Bay yang menurut informasi dari internet terletak di pinggiran kota disebelah utara Manila. Perjalanan menuju hotel melalui jalan yang tidak terlalu macet, jalan raya lebar aspalnya berwarna hitam tidak berlubang, di sepanjang jalan ditanami dengan pohon pinus, membutuhkan waktu 45 menit, mobil bergerak menuju utara ke arah Angeles, jarak seperti ini dan dengan kecepatan sekitar 75 km per jam, biasanya kira-kira 50 km.

Impian Bagio bepergian ke luar negeri menjadi kenyataan. Dari sejak kecil impiannya pergi ke luar negeri terinspirasi oleh pengelana muda dari kota Ngawi, Karl Bono yang melakukan perjalanan keliling dunia pada decade 60. Sepanjang perjalanan menuju hotel dia tidak berkedip melihat pemandangan yang baginya sebetulnya nyaris tidak beda dengan melihat pemandangan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, karena wajah-wajah orang Filipina serupa betul seperti orang Manado yang pernah dijumpainya. Di sebuah toko buku di Jakarta, dia pernah berjumpa sekilas dengan seorang pengunjung yang dia kira dari Manado, ternyata wanita ini berasal dari Davao, Mindanau, yaitu Filipina bagian selatan.

Informasi hotel murah di kota ini mudah didapatkan melalui internet enam bulan yang lalu. Tarif hotel ini murah dan sangat terjangkau untuk turis seperti dia, yaitu USD 35 per hari. Ia telah membayar dimuka kamar yang dia pesan di hotel ini tiga bulan yang lalu. Check in dilayani oleh seorang pegawai perempuan front office hotel yang cantik, murah senyum, giginya putih rata, dan bibirnya basah agak tebal, tetapi sensual. Namanya Deborah Carrera, dapat dilihat di badge nama yang melekat di dada kanannya. Hotel Manila Cantik, ya memang cantik walaupun hotel ini kecil saja, yaitu hanya mempunyai 30 kamar, namanya terdengar sangat Indonesia, karena ternyata pemilik hotel ini, Armando Cortez pernah berkunjung ke Bali 20 tahun yang lalu. Room boy, Enrique Valdez menceritakan singkat tentang hotel ini sehingga diberi nama Manila Cantik. Bagio bicara sedikit dengannya dalam bahasa Tagalog yang masih patah-patah, bahasa sehari-hari yang digunakan oleh kebanyakan orang Filipina. Tetangganya di Bogor orang Filipina, Salvador Hernandez, bekerja di sebuah pabrik semen di Cibinong sebagai staff konsultan, dia yang mengajari Bagio berbicara dengan bahasa Tagalog. Hotel ini terletak di jalan raya antara Manila dan Angeles, tetapi masih di wilayah Metro Manila.

Bagio tidak sendirian datang ke Manila, tetapi bersama keponakan laki-laki isterinya, Gavin Alexander dengan isterinya, Rossy Alberta dan dua anak mereka, Marvel dan Elizabeth, dan kedua orang tua Rossy, ayah dan ibunya. Memang dia mengeluarkan biaya sendiri, tetapi dia sebenarnya sangat tidak menyukai dengan rombongan besar ini, karena tiga kepala keluarga berarti tiga agenda perjalanan; yang merasa mempunyai uang banyak, merasa mempunyai kuasa mengatur perjalanan dan yang merasa paling dituakan, juga merasa mempunyai kuasa mengatur perjalanan, sedangkan dia berada pada posisi di antara kedua kondisi ini. Ibunya Rossy tampak paling cerewet suka mengatur orang lain. Isteri Bagio dan anak perempuannya tidak menyertai perjalanan ini, karena isterinya telah merelakan dia pergi ke luar negeri supaya dia dapat menikmati uang pensiunnya didapatkan bekerja di pabrik semen selama 35 tahun. Namun, dia tidak memperlihatkan terang-terangan, bahwa dia tidak menyukai keberadaan mereka, karena dia telah mempersiapkan ide cemerlang sejak satu minggu sebelum berangkat untuk melepaskan diri dari campur tangan mereka.

Mereka memesan tiga kamar yang semuanya double bed, karena semua kamar single bed yang seharusnya satu kamar untuknya sudah full book. Setelah membersihkan badan mereka berkumpul di kamar si cerewet menikmati minum teh dan makanan kecil berupa crackers yang tadi sore kami beli di sebuah mall market dalam perjalanan dari airport ke hotel. Mereka juga membeli tiga botol besar air mineral. Nyonya tua cerewet mengusulkan supaya besok kalau keluar hotel selalu dilakukan bersama-sama supaya jangan ada yang terpisah, jangan sampai ada terjadi sesuatu kalau nanti terpisah. Ia sama sekali tidak protes. Hemmm, … tunggu, waktunya belum tiba. ia membawa uang  untuk liburan ini lebih dari cukup untuk kembali ke Jakarta, lagi pula apa yang harus dikuatirkan berlebihan di kota yang kondisinya hampir sama seperti Jakarta. Filipina dalam kondisi aman, hanya orang yang tidak dapat diam mulutnya saja yang membesar-besarkan masalah, harus begini, harus begitu. Memang Bagio anak kecil mau diatur seperti cucu-cucunya.

Ia bangun pagi paling awal dari mereka, terlihat kamar mereka masih gelap, waktu menunjukkan pukul 04:30, langsung dia mandi. Bergegas mengejar waktu dia cepat berpakaian. ia melihat di meja kecil di depan kamar masing-masing telah siap satu botol dari 1 liter air mineral, teh, dan kopi di dalam termos; ditambah satu piring berisi 6 potong snacks. Gerak cepat dia memasukkan cairan yang dia curi dari kamar praktek dokter Wahyuni ke dalam termos teh dan kopi dan supaya lebih meyakinkan lagi dia memasukkan bubuk valium 5, masing-masing 5 gram, dan aduk rata pakai sendok kecil, sedangkan sisa cairan maut dimasukkan ke dalam botol air mineral mereka dengan mikrosiringe yang dia bawa dari Bogor, bekas lubang kecil ditutup dengan seal tape transparan. Dokter Wahyuni, tetangganya adalah dokter hewan yang buka praktek di depan rumahnya, dia kadang-kadang terima pasien gook, gook, gook untuk dioperasi. Nah, cairan maut ini, biasa digunakan untuk operasi supaya pasiennya yang berekor itu menjadi stoned. Biasanya waktu stoned sekitar 6 jam. Ia akrab dengan Wahyuni, bahkan dia sering menyaksikan tetangganya mengoperasi pasiennya yang berekor itu di dalam ruang kerjanya.

Pukul 07:00 waktunya coffee morning, mereka menikmati di depan kamar masing-masing. Nyonya tua cerewet yang pertama membuat usulan ke mana mulai perjalanan libur pada hari pertama di Manila ini, dia mengusulkan jalan-jalan ke Makati; belum ke Manila kalau tidak ke Makati, katanya. Seperti orang yang paling tahu saja Manila itu seperti apa. Anaknya, Rossy berkeras mengusukan ke Quezon City, mau ke Galandra Steak House, yang kata orang di Jakarta, itu restoran paling top di kota ini. Pergi liburan jauh ke Filipina hanya untuk beli beef steak, seperti di Jakarta, Bandung, atau Bogor tidak ada steak. Setengah jam kemudian cairan dan bubuk maut itu sedikit demi sedikit sudah menunjukkan gejalanya. Satu demi satu mereka masuk ke kamar masing-masing tak bersuara karena mata mengantuk … akhirnya yang terdengar suara dengkuran orang pulas tertidur. Waktu menunjukkan pukul 08.30 waktu Manila.

Mereka sedang menikmati alam mimpi yang indah sedang menikmati lezatnya beef steak di Galandra, di Quezon City. Secarik kertas memo dia tinggalkan di kamar keponakannya, Herman yang tidak terkunci, sebuah memo singkat :

===  Jangan mencari aku. Selamat berlibur indah di Filipina. Kita bertemu lagi di Bogor  ===
Bernardo Bagio.

Ia menyerahkan kunci kamar ke recepcionist,  menyelesaikan pembayaran kamar, dan dia pergi keluar meninggalkan Manila Cantik 4 jam sebelum waktu check out. Ia menuju ke selatan ke Legazpi. Mereka akan bangun dari tidur nyenyak mereka kira-kira 6 jam lagi dan dia sudah tiba di kota ini. ia mengambil keputusan ke Iloilo mengambil jalan darat karena dia ingin menikmati pemandangan sepanjang jalan ke selatan pulau Luzon, pulau terbesar di negara ini. Keindahan pantai Guimaras sudah sering dia dengar dari tetangganya orang Filipina. Ia mengharapkan lebih atau paling tidak sama eksotiknya dengan Kuta di Bali.

Namun, ada benarnya juga kata nyonya tua cerewet itu, bahwa belum ke Manila kalau tidak melihat seperti apa Makati. Dengan menaiki taxi dia menuju ke Makati perjalanan membutuhkan waktu 30 menit. Di distrik ini terdapat lebih 50 bank internasional dan regional Association of South East Asia Nations, beberapa dari mereka adalah bank papan atas, 5 nama di antaranya yang aku ingat, seperti First National City, HSBC, American Express, Bank of Bilboa, dan Bank of Ilocos Norte. Banyaknya bank seperti ini menunjukkan barometer ekonomi di sini cukup baik, investasi di bidang perkebunan, pertanian, industri semen, dan pariwisata paling menonjol, terutama perkebunan tebu. Filipina adalah penghasil gula terbesar di Asia. Perempuan Filipina rata-rata cantik dan berpendidikan tinggi, tidak heran setiap tahun mereka selalu masuk nominasi Miss World. Selain sebagai tempat basis ekonomi, Makati juga tempat terkenal untuk demonstrasi oleh pengikut Cory Aquino, isterinya Benigno Aquino yang terbunuh di lapangan udara Manila setelah kembali dari Amerika, yang tergabung dalam People Power yang menuntut supaya Presiden Marcos meletakkan jabatan pada tahun 1986. Distrik ini lebih kurang sama dengan Bundaran HI tempat orang di Jakarta melakukan demonstrasi. Satu jam dia menikmati pemandangan di distrik ini. Ia melanjutkan ke Monumen Jose Rizal terus ke danau Rizal, tempat reservoir air minum bagi warga Manila Metro dan sekitarnya. Temannya orang Padang, namanya adalah Asrizal. Barangkali, pahlawan Filipina ini masih berdarah Minang di Indonesia.

Perjalanan menuju Legazpi di provinsi Albay rasanya memang tidak beda seperti perjalanan Jakarta ke Semarang, tetapi manusia selalu mencari selingan lain kalau memungkinkan. Ia duduk di kursi depan di sebelah supir, perempuan berkulit hitam manis, lebih condong wajahnya seperti orang Jawa, tetapi namanya yang tertera di badge di dada kanannya memang nama perempuan orang Filipina, Sarita Pimento. Mobil Mitsubishi L300 dari perusahaan travel Gulf of Panay melaju kencang, tetapi lembut tanpa hentakan-hentakan seperti yang biasa dilakukan oleh sopir-sopir di Bogor. Hembusan angin dari samudra Pacific terasa menyejukkan, mobil di sini memang jarang menghidupkan AC, karena tanpa AC pun lebih sejuk dibandingkan di Bogor yang sekarang terasa panas.

“You run this car smoothly. How long have you been working as driver?”, tanyaku membuka pembicaraan sambil menoleh kepadanya.
“Five years. I work for my husband had an accident then I took over the whole business in my household.”
“Where the province are you from? Luzon? Or Leyte?”
“Frankly to say, I’m not Philippines bybirth but I was from Indonesia. I was born in Surabaya, then Pimento, my husband married me twenty five years ago. You, where are you from?”
“Lho, sampeyan wong Suroboyo, toh sakbenere?”
“Sampeyan soko ndi? Wis suwi tenan aku ‘ra ketemu karo wong Jowo.”
“Aku wong soko Mojokerto. Jenengmu koyo wong Spanyol. Sarita.”
“Jeneng iso ngapusi wong, tapi atiku ora tau ngapusi wong liyo.”
“Kok iso ketemu jodoh karo wong Filipina. Piye mulane ketemu?
“Jenenge jodoh yo jodoh ketemu ning Tunjungan. Bapakku dodolan martabak manis, aku ngewangi, lha, deweke mampir saben dino.”

Mobil telah melewati Lopez dan melaju terus ke Mercedez dengan kecepatan 80 km per jam, jalanan lebar, tapi sepi melewati pegunungan berhutan pinus yang lebat dan sejuk. Di sepanjang perjalanan sangat jarang dijumpai penduduk. Sarita mengurangi kecepatan mobilnya, karena mobil terasa oleng ke kanan, mobil dihentikan ke pinggir jalan. Ban depan sebelah kanan tampak kurang angin. Kesempatan bagi penumpang, terutama yang laki-laki untuk kencing. Ia kencing di tempat agak jauh, kira-kira 30 meter di bawah sebuah pohon yang lebat daunnya, yang penting pistonya tidak kelihatan. Tidak sulit bagi Sarita menambah angin ban sebelah kanan, karena di dalam mobilnya sudah ada kompressor ban portable yang digerakkan dengan aki mobil. Di kejauhan, terlihat sebuah mobil mini bus besar Ford 2500 cc menyalip sebuah mobil lain di depannya, kecepatannya mungkin 100 km per jam. Kedua mobil ini jaraknya kira-kira 100 meter. Pintu bagian belakang Ford terbuka, sesaat kemudian dari belakang Ford ini terdengar rentetan suara tembakan senapan mesin. Sopir mobil yang disalip ini tertembak, mobil oleng ke arah mobil Sarita, tetapi tidak menabrak, dan berhenti 10 meter di depan mobil L300. Ford mengurangi kecepatan, tetapi rentetan senapan mesin dari belakang mobil ini tetap menyalak ke arah bagian samping mobil sasaran. Ford berhenti di sebelah kanan jalan, segera empat orang keluar dari dalam dengan membawa M16.

Dua orang di sisi kiri sementara dua lainnya di sisi kanan; jika yang seorang menembak senapan M16, yang seorang lain dalam posisi siap menembak; jika peluru habis, orang yang tadi dalam posisi siap menembak, ganti menembaki, begitu seterusnya sampai 3 magazine. Dua di antara mereka adalah perempuan, keduanya di sisi sebelah kanan. Sementara sopir Ford dari sejak tembakan pertama M16 telah siap di bagian belakang mobil merah. Dari pintu belakang, keluar seorang, tetapi kakinya sebelum menjejakkan ke tanah, tembakan beruntun AK 47 dari si sopir Ford menghabisi riwayatnya menjadi manusia. Sopir mobil travel L300, Sarita dan semua penumpang, laki-laki, perempuan, anak-anak, dan semua yang kemungkinan dapat menjadi saksi hidup dihabisi tanpa ampun. Dua orang laki-laki yang juga sedang kencing dibawah pohon, 20 meter di sebelah sisi kanannya tampak terkejut dan berusaha lari, tetapi peluru-peluru M16 yang dipegang oleh perempuan-perempuan yang di sisi kanan lebih cepat dari kedua orang ini. Mereka tidak tahu sama sekali ada yang lolos dari perhatian mereka sedang mengamati dari rimbunan pohon.

Perampokan! Mobil yang disalib oleh Ford itu adalah mobil perusahaan kurir pembawa uang, logo di pintu mobil itu menunjukkan identitas perusahaan, Secure Carrier. Paling tidak di dalam mobil ini terdapat 600 juta peso. Semua uang dikemas di dalam tas demi tas besar seperti koper terbuat dari bahan polyester tebal. Mereka bergerak cepat. Hanya dalam waktu 15 menit mereka selesai memindahkan semua koper uang ke dalam mobil mereka. Namun, seorang dari mereka yang memegang AK47 melemparkan satu bundle uang rampokan mereka ke arah hamparan rumput tempat orang-orang yang telah mereka tembaki tadi mati tergeletak. “Untuk biaya pemakaman,” katanya dalam bahasa Inggris. Kalau melihat penampilannya, orang ini adalah pemimpin mereka. Mereka bergegas pergi. Waktu menunjukkan pukul 17.00, matahari sudah condong ke barat. Sepi kembali.

Perlahan Bagio keluar dari persembunyian dari balik pohon. Sepi. Bayangan gelap dibalik pohon-pohon pinus mulai menutupi senja hari. Ia mendekati sopir mobil Secure Carrier yang telah mati. Ia merogoh dompetnya dan memeriksa isinya. Ada surat ijin mengemudi mobil truck umum, untuk sepeda motor, dan kartu tanda penduduk. Namanya, Gonzales Ramirez, kota kelahiran Tarlac, umur 50 tahun. Semua indentitas masih baru semua, hanya selisih sedikit bulannya, tetapi masih berlaku untuk beberapa tahun mendatang. Di dalam dompet terdapat uang sebesar 5000 peso, tidak butuh. Bagio hanya memerlukan identitas sopir ini, lainnya dibuang ke dalam lantai mobil. Ia berjalan menuju tempat madame Sarita tergeletak mati terkena peluru pada leher dan dadanya. Ia juga merogoh dompet perempuan ini untuk mengambil identitas diri tempat perempuan ini bekerja.

Satu bundle uang yang dilemparkan oleh pemimpin gang perampok terletak 10 meter dari tempat Sarita tergeletak. Satu bundel pecahan USD 100, nilainya USD 50 ribu. Dengan mobil travel L300 dia kembali menuju ke arah Manila. Ia menyimpan separuh bagian dengan membuka rekening di Bank of Ilocos Norte dan separuh lainnya dikirimkan ke rekeningnya di Indonesia secara bertahap. Ia masih mempunyai waktu ijin tinggal di Filipina dua puluh hari lagi. HBP.

No comments:

Post a Comment