Best Food
nice food
healty Food

Tuesday, January 19, 2010

Sebuah Refleksi Pertemanan

from 1993 to 2010

“Each friend represents a world in us, a world possibly not born until they arrive, and it is only by this meeting that a new world is born.” – Anais Nin

Dari Bekasi Sampai Bandung

Berbicara tentang pertemanan cewek, ada 4 orang gadis normal yang tumbuh dan besar di Bekasi. Namanya Gini Arimbi, Dyna Mariana, Putri Aninditha, dan Sarah Anzaita Putri. Kenal sejak playgroup dan sama-sama besar di SD yang sama membuat mereka memiliki childhood yang kurang lebih setipe: menjadi anak SD normal, tidak kurang dan tidak lebih dengan segala pengajaran khas ala Al Azhar, menjadi aktivis pramuka, melakukan kebodohan dan hal-hal cupu khas anak SD lainnya, berada di era kartun dan komik ngetop yang sama, pergi ke tempat-tempat main yang sama, mengagumi artis-artis idola yang sama di eranya, dst.

Selepas masa SD yang bahagia di SD Al Azhar Jakapermai, 3 dari kami melanjutkan di SMP yang sama. Ketika SMA, saya dan Dyna lagi-lagi bareng di SMAN 8 Jakarta sedangkan Ditha dan Sarah pindah kota melanjutkan di SMAN 3 Bandung. Walau gak selalu update berita, tapi setiap kali ada liburan, kami pasti menyempatkan untuk ketemu dan ngobrol. Walaupun beda kota dan kegiatan, kami tetap nyambung satu sama lain.

Saat kuliah, Sarah sudah setahun lebih dulu masuk ITB (karena dia aksel), saya dan Dyna ‘terjebak’ di ITB (padahal waktu kelas 3 Dyna pengen banget masuk FK dan saya ngotot kuliah di Singapur), serta setahun kemudian si Ditha menyusul. Walaupun sempat terpisah kelas, sekolah, kota, dan angkatan, namun dengan ajaibnya ujung-ujungnya kami bertemu dan bareng lagi di ITB. Terpaut 3 angkatan dan menjadi 3 jurusan (Teknik Geofisika, Teknik Sipil, FTMD).

Walaupun lokasi kos di Bandung sangat dekat satu sama lain, namun dengan segala kegiatan dan aktivitas jurusan masing-masing yang sangat menyerap tenaga, kami jadi jarang ketemu dan jarang menghabiskan waktu bersama. Tapi ini juga satu hal yang sangat khas, ketika saya cerita tentang suatu problem, sering banget reaksinya adalah “Wah gila, gw juga pernah banget tuh ngalamin hal kayak gitu.” “Aduh, kok sama banget sih problem kita.” Bahkan ketika saya belum selesai cerita pun, mereka kurang lebih sudah bisa meraba problemnya apa dan apa yang saya rasakan. Mungkin, karena frekuensi yang udah nyambung akibat akumulasi interaksi selama belasan tahun ini. Itu juga yang membuat saya sadar, walaupun kita menjalani kegiatan yang beda setiap hari dan masing-masing punya ketertarikan pada bidang-bidang yang cukup beragam, basic nya ya kita adalah tetap orang-orang yang sama.

Buat saya, mereka bertiga lebih dari sekedar teman. Mereka orang yang kenal saya luar dalem sampai busuk-usuknya dan sisi-sisi paling aneh, begitu juga sebaliknya. Mereka orang yang saya percaya banget yang bakal saya minta advice ketika ada problem atau lagi galau. Makanya, bisa aja saya terlibat banyak interaksi dengan banyak orang, tapi yang akan jadi tempat cerita, ya itu itu aja. Bisa dihitung dengan jari. Dan untuk mencapai level itu, jelas dibutuhkan waktu yang gak sebentar. Belasan tahun bukan waktu yang singkat untuk mempertahankan pertemanan.

Antara Kenalan, Teman, dan Sahabat

Menjalani berbagai macam pertemanan selama bertahun-tahun membuat saya menarik sebuah konklusi. Bisa aja dalam satu waktu saya kenal dan berinteraksi dengan banyak sekali orang, dekat banget sesaat karena kondisi tertentu (entah itu satu kelas, satu jursan, satu kepanitiaan), namun pada waktu berikutnya mereka gak lebih dari sekedar kenalan.

Ibarat konsep pasangan, saya yakin masalah pertemanan pun juga ada ‘jodoh’nya. Sesuatu yang terkadang gak bisa dipaksain, yang gak bisa dikira-kira. Ketika kuliah dan bertemu orang baru, bisa jadi kita ketemu banyak orang hebat, orang yang kelihatan sangat asik, atau orang yang kelewat ramah dan friendly. Tapi, belom tentu cocok buat kita sebagai teman. Bisa aja menjadi teman. Tapi untuk jadi sahabat, itu persoalan lain. Dan dari teman dan sahabat pula kita belajar mengenali diri sendiri. When we judge others we are judging ourself. Akan membuat saya bertanya “Kenapa saya kurang nyaman sama dia?” Dari sinilah kita belajar mengenai karakter pribadi.

Bisa aja waktu SMA saya kenal dengan banyak orang, tetapi lantas ketika kuliah dan balik lagi ke Jakarta, cuma ada beberapa list nama yang akan saya hubungin. Kenapa? Karena semakin besar, waktu kita semakin terbatas. Prioritas semakin banyak. Orang-orang datang dan pergi. Friend list di facebook sebenarnya bukan kumpulan teman-teman tapi sebatas database kenalan. And at the end of the day, there are only several who remains there.

It's Quality That Matters

Bahwa semakin kita gede, akan semakin banyak karakter orang yang kita temui. Akan semakin macem-macem masalah yang kita hadapi. Terkadang, kita akan cepat galau menghadali suatu problem, bukan karena problem itu sendiri, melainkan emang karakter kita yang dihadapkan tentang konflik tertentu akan bereaksi seperti itu. Dan pada saat itu, disitulah orang yang benar-benar menegerti karakter kita dari sejak kecil berperan. Orang-orang yang ngerti kejelekan dan sifat-sifat nyebelin kita, dan bisa jadi pengingat yang baik dan tau batas-batasan kalau kita udah mulai di luar batas, bukan orang-orang yang seenak jidat menstereotipkan sesuatu atau diam-diam jadi backstabber.

Dan pada akhirnya, waktu juga yang akan jadi filter paling ampuh. Yang nyambung ya bakal nyambung, yang nggak nyambung ya bakal nggak nyambung. Gak perlu jadi orang lain biar pengen terlihat asik atau gimana. Pada akhirnya pertemanan itu suatu proses yang alami kok. Gak perlu bikin geng geng an segala, men decalre bahwa (sindrom2 anak SMP bikin geng haha, I was one of them) kita best friends forever sejati, atau apalah itu.

Dan sekali lagi, saya percaya bahwa ada banyak sekali faktor untuk menggeser konsep ‘teman’ menjadi merasa ‘saudara’. Gak perlu pake kondisi eksternal yang dibuat-buat, apalagi pakai acara disiksa biar rasa kebersamaan tumbuh. Ketika kita cepat merasa ‘saudara’ dengan orang lain, kenyataannya akan semakin gampang pula kita melupakannya. Percaya deh, ini observasi yang telah saya lakukan bertahun-tahun. Sesuatu itu gak ada yang instan.

Maka, memiliki 3 orang sahabat yang (dengan ajaibnya) ditakdirkan ketemu lagi di ITB merupakan salah satu hal yang cukup baik dalam hidup saya. Saya bukan tipe orang yang cepat akrab dengan orang baru, tapi punya lumayan banyak sahabat baik yang bertahan dari dulu (entah dari jaman SD, SMP, atau SMA), adalah benar-benar sebuah harta karun. Dan harta karun itu akan semakin berharga ketika semakin lama terpelihara.

No comments:

Post a Comment