Best Food
nice food
healty Food

Friday, November 27, 2009

Sindrom Tingkat 2 dan Segala Kegalauannya

Membagi prioritas adalah seni.

Seperti sebuah kalimat yang sering didengung-dengungkan di saat masa kaderisasi himpunan jurusan, “Hidup ini pilihan, dan setiap pilihan mengandung konsekuensinya”. Saya memilih untuk mengikuti beberapa kegiatan di waktu bersamaan. Resikonya, sering terjadi bentrok yang mengharuskan saya untuk memilih prioritas. Belajar untuk menjalankan semuanya tanpa kehilangan fokus utama : mencapai hasil akademik yang baik sebagai modal melanjutkan S2.

Dan di saat seperti ini, saya belajar untuk menerima konsekuensi dari segala kegiatan yang diambil : waktu bersantai yang berkurang termasuk proyek-proyek pribadi dalam meng-upgrade diri (entah itu memperkaya diri dengan bacaan atau berbagai kegiatan ekstra di luar kampus). Saya belajar untuk berusaha menyamankan diri di lingkungan dan keluarga baru, serta secepat mungkin beradaptasi dengan etos kerja dan kultur yang ada. Hal yang berat karena saya bukan tipe orang yang gampang terbuka.

Saya belajar untuk memaksa diri meninggikan standar mengenai akademis : mendapat nilai jelek berarti sebuah kesalahan yang harus dievaluasi, tidak sempat belajar berarti ada yang salah dengan jadwal kegiatan lain, serta tak ada kata ‘tidak sempat’ untuk mengerjakan laporan praktikum. Walaupun sulit, ini adalah hal yang harus paling tekankan. Seberapapun menggoda kegiatan non akademis di luar sana, akademis tetap harus menjadi prioritas untuk cita-cita jangka panjang. Terlebih, dengan kemampuan akademis yang sekarang, masih diperlukan effort ekstra keras untuk mengejar ketertinggalan.Saya belajar untuk lebih banyak diam. Amati saja dulu, sebelum berkomentar. Kerjakan saja dulu apa yang bisa dilakukan, sebelum mengkritik wacana-wacana besar yang kebenarannya belum dapat dipastikan. Pastikan saja dulu kelancaran teknisnya, sebelum terlalu lama berkutat di dasar teori yang eksekusinya belum tentu efektif.

Saya belajar untuk memilah-milah betul antara wacana normatif dan kebutuhan personal. Saya belajar untuk menerima berbagai perspektif, kultur, dan sistem yang terkadang sangat bertentangan dengan visi saya. Saya belajar untuk memahami betul artinya efisiensi dan efektivitas waktu, serta mengenali sindrom-sindrom kejenuhan ketika hal yang dihadapi sudah kelewat bertumpuk.

Saya belajar untuk berkompromi di zona yang tidak nyaman dan tidak cepat men-judge sesuatu. Saya belajar bahwa segala sesuatu yang diterima mengandung resiko. Jaket himpunan, walaupun keren dan sangat berguna untuk dinginnya malam di Bandung, sesungguhnya berarti waktu, energi, serta tenaga yang terkuras dan tanggung jawab yang bertambah.

Dan pada akhirnya saya belajar, bahwa masih ada sangat banyak hal yang harus dipelajari.

No comments:

Post a Comment