Best Food
nice food
healty Food

Monday, June 14, 2010

Shopping vs. Nasionalisme

Kampanye “cintai produk dalam negri” adalah program yang telah lama kita dengar. Jika diperhatikan lebih jauh, hal ini mengindikasikan banyak hal : karakteristik, jati diri, masalah, sekaligus potensi luar biasa yang selama ini masih terpendam. Yang jelas, perkara beli-membeli bisa pada akhirnya berkaitan erat dengan nasionalisme bangsa Indonesia.

Indonesia yang konsumtif

Perkembangan ekonomi di Indonesia menyebabkan naiknya pendapatan perkapita masyarakat. Hal ini dengan otomatis meningkatkan naiknya standar hidup dan status sosial masyarakat, menyebabkan kebutuhan akan aneka produk konsumtif meningkat. Tatanan sosial yang baru ini memunculkan gaya hidup dan cita rasa (taste) baru yang seiring dengan peningkatan kelas sosial. Selain itu, perubahan ini dipercepat pula oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga berbagai macam bentuk tren serta berbagai produk gaya hidup juga dengan gampangnya menyebar dan mempengaruhi pola konsumsi warga Indonesia akibat pengaruh media massa.

Di kota-kota besar, fenomena itu tergambar jelas. Di Jakarta, pusat perbelanjaan hadir hampir di setiap sudut kota. Dari yang awalnya sekedar tempat berbelanja terpusat yang nyaman dan praktis untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, kini mal-mal menjelma menjadi potret dari gaya hidup orang di kota besar. Munculnya berbagai merk fashion tingkat atas dan menjamurnya kafe-kafe mewah menjadi bukti bahwa berbelanja telah menjadi bagian dari gaya hidup golongan dengan tingkat ekonomi yang kuat. Pertumbuhan mal-mal raksasa kelas atas seperti Grand Indonesia, Senayan City, PIM 2, atau Pacific Place bisa jadi salah satu yang tercepat di dunia.

Tak hanya itu, berbagai fenomena konsumtivisme juga dapat kita amati dari sangat tingginya angka penualan handphone-handphone mutakhir, padatnya suasana midnight sale yang dilakukan berbagai mal, atau cepatnya perkembangan fashion. Bahkan, di tengah resesi global yang melanda dunia, angka penjualan ritel tetap naik pada Trimester I-2009.

Pertanyaannya, apakah semua itu salah? Gerakan konsumsi bisa menjadi pendorong perekonomian yang sangat jitu di kala krisis. Namun, sayangnya fenomena mengkonsumsi ini masih lebih banyak didominasi oleh produk-produk asing. Sebagai contoh, kita bisa melihat kesuksesan merk-merk luar yang hadir di Indonesia di bawah naungan Mitra Adi Perkasa. Sebut saja Starbucks Coffee, Burger King, Zara, Topshop, dll. Merk-merk tersebut sangat berhasil memikat konsumen lokal dan menciptakan tren tersendiri di kalangan warga ibu kota . Merk-merk besar tersebut pulalah yang mendominasi porsi tenant di berbagai pusat perbelanjaan, dan secara tidak langsung menjadi standar tren yang berlaku. Sehingga, produk-produk lokal pun menjadi kalah saing.

Pemanfaatan konsumtivisme untuk memberdayakan produk lokal

Indonesia masih memiliki potensi luar biasa untuk menyerap produk-produk konsumsi. Pada The Global Competitiveness Report 2009 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, Indonesia memiliki potensi pasar lokal di urutan ke 16 dan pasar asing di urutan ke 23 se-dunia. Dengan besarnya potensi itu, seharusnya Indonesia bisa mendominasi pasar lokal dengan menyebarkan propaganda gaya hidup dengan produk-produk buatan sendiri.

Padahal, dengan mengkonsumsi dan mempromosikan produk-produk dalam negri, ada banyak sekali efek positif yang akan timbul. Hal ini bisa ditinjau secara ekonomi, industri, dan sosial.

Menjadikan produk lokal sebagai gaya hidup ternyata berdampak sebegitu besar bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Di Indonesia, pertumbuhan produk-produk ekonomi kreatif mencapai 7,3% pada 2006, atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,6%. Selama 2002-2006, kontribusi industri kreatif di Indonesia rata-rata 4,74 persen dari total nilai PDB nasional.

Namun, ternyata angka ini ternyata masih kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Pertumbuhan ekspor di bidang industri kreatif di Indonesia mencapai 8 persen pada 2006 (Rp 45,13 miliar). Angka ini masih di bawah rata-rata negara berkembang, yang kontribusinya mencapai 29 persen dari total ekspor tahun 1999 dan 41 persen tahun 2005. Secara global, Indonesia belum menjadi pemain penting untuk produk keseluruhan industri kreatif. Sekali lagi hal ini sangat disayangkan, mengingat besarnya potensi pasar yang ada.

Selain itu, sebagian besar industri kreatif di Indonesia digerakkan oleh Usaha Kecil Menengah. Pengembangan industri kreatif diperkirakan telah mampu menyerap 4,9 juta tenaga kerja, menghasilkan lebih dari 700.000 UKM. Berbagai produk kriya yang dihasilkan lewat industri kreatif juga sangat menguntungkan karena dapat memberdayakan bahan baku lokal, tidak memerlukan skill yang spesifik sehingga bisa dikerjakan oleh orang-orang tanpa jenjang pendidikan khusus, dan dapat menyerap berbagai kalangan masyarakat untuk bekerja karena fleksibilitas waktu yang ditawarkan dari proses produksi industri kreatif tersebut.

Selain dampak ekonomi yang disebutkan di atas, membangun tren produk dalam negri juga berarti mendorong inovasi dari para produsen lokal dan entrepreneur untuk terus berkarya dan berkreasi. Kita bisa melihat contoh fenomena bisnis clothing line yang diprakarsai orang-orang muda di Bandung. Berbekal kreativitas serta kejelian melihat anak muda sebagai target, disertai marketing yang baik bagi anak muda, terbukti perputaran uang yang dihasilkan oleh bisnis tersebut bisa mencapai ratusan milyaran rupiah dan telah diekspor ke berbagai negara di penjuru dunia.

No comments:

Post a Comment